SAMBAS-TODAY. Ada yang menarik jika kita berkunjung ke kawasan Pantai Utara Kalimantan Barat (pantura), khususnya Kabupaten Sambas pada periode sekarang, atau dalam periode bulan sya’ban dalam kalender hijriah.
Jika saat ini kita berkunjung ke daerah tersebut, Kemungkinan besar kita akan di ajak dalam tradisi tahunan masyarakat pantura yang kegiatannya di isi dengan doa dan tahlilan bersama sekaligus penjamuan makan yang menjadi budaya turun-temurun masyarakat melayu Sambas setiap menyambut bulan suci Ramadan.
Masyarakat setempat menyebut kegiatan tersebut dengan istilah sya’banan atau sering juga di sebut sedekah nasi. Sya’banan akan berlangsung setiap hari dengan periode waktu pagi dan sore hari di bulan sya’ban dari rumah-rumah masyarakat setempat selama sebulan penuh sebelum masuk ke bulan Ramadan. Meskipun tradisi ini telah mengakar, Sya’banan ini tidak serta merta di lakukan oleh semua masyarakat, hanya yang merasa mampu dan mau saja yang mengadakan tradisi ini, tidak ada aturan yang mengharuskan.
Berdasarkan pantauan team kalbartoday.com yang kebetulan pernah mengikuti kegiatan ini, Sya’banan selalu di buka dengan pembacaan doa yang di lanjutkan dengan tahlil bersama yang di pimpin oleh pemuka agama yang di nilai sepuh oleh masyarakat setempat, atau biasa lebih populer di panggil Pak Labai.
Ketika proses doa dan tahlil bersama telah usai, barulah proses penjamuan makan itu di laksanakan, dan yang tak kalah menarik, tata cara menghidangkan makanan ini juga di lakukan dengan adat budaya melayu Sambas yaitu Be-saprah.
Dalam kegiatan makan dan minum Besaprah/ Saprahan tidak ada kursi meja yang di persiapkan. Semua hidangan makanam dan minuman di lakukan di atas lantai dengan mengelilingi hidangan yang telah di persiapkan tuan rumah. Bahkan, proses menyantap hidangan pun menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu.
Suka cita masyarakat pantura akan datangnya bulan suci ramadhan dapat di lihat dari kegiatan sya’banan, sebagaimana di sampaikan oleh Leziardi, pemuda asal desa Semayong, kabupaten Sambas yang sekarang bekerja di luar Kalimantan. Saat memasuki bulan sya’ban, pemuda yang punya hoby ngetrip ini bahkan rela jauh-jauh untuk pulang ke kampung halaman.
“Bila memasuki bulan sya’ban, sesibuk apapun pekerjaan saya, akan tetap saya usahakan untuk pulang kampung untuk mengikuti sya’banan. Saya merasa rugi, jika tidak ikut serta dalam tradisi tersebut. Karna lewat tradisi inilah, saya dapat berinteraksi dan menjalin silaturahmi dengan sanak saudara dan masyarakat desa tempat saya berasal“. Ujarnya.
Pada kesempatan yang berbeda, pendapat yang meluruskan tradisi sya’banan ini juga di utarakan oleh Aan Yulistiwa, sejarawan muda lulusan pendidikan sejarah STKIP Pontianak yang dihubungi team Kalbartoday.com via telepon selluler saat di minta pendapatnya mengenai tradisi sya’banan. Ia mengatakan, “ada sebagian masyarakat yang menyamakan tradisi sya’banan dengan dengan istilah ruwahan, Padahal dua tradisi itu jelas berbeda makna”.
Lebih lanjut, Pemuda yang juga aktif sebagai pendamping desa ini menerangkan bahwa, “Sya’banan adalah tradisi yang telah lama ada di daerah Sambas yang bermakna sedekah. Sedekah itu di aktualisasikan lewat penjamuan makan bersama dengan orang-orang yang ada di lingkungan sekitar. Namun, kadang ada juga yg menamakan tradisi sya’banan ini dengan ruwahan, padahal ruwahan itu punya makna tersendiri yaitu tradisi mendoakan orang yang telah meninggal, dan terkadang tradisi ini di iringi dengan pemberian makan kepada mereka yang ikut mendoakan orang telah meninggal”. Pungkasnya.
Di akhir sesi wawancara via selluler itu, pemuda yang biasa di panggil Pak Tam ini menyatakan. “Di zaman yang terkoneksi seperti sekarang ini, dimana komunikasi dan silaturahmi begitu mudah di lakukan lewat gadget. Kita terkadang lupa dan acuh bagaimana merawat tradisi lelulur yang sebenarnya begitu sarat akan nilai-nilai positif “.
Menurutnya, “tradisi sya’banan mesti harus di pertahankan, agar tidak putus di dalam perjalanan waktu, harus ada upaya agar tradisi ini tetap di cintai oleh generasi muda, karna merekalah yang akan melanjutkan tradisi tersebut”. Pungkasnya.(koz)