Menjelang persiapan menghadapi tahun 2024, yang lagi tren disebut musyawarah besar rakyat melalui Pemilihan Umun, namun dalam menghadapi situasi mendatang tentunya kesiapan penyelengaran pemilu harus maksimal dalam melewati setiap tahapan- tahapan dalam proses penyelengaraan pemilu.
Namun persoalan terkait keterwakilan perempuan masih belum optimal dalam mencapai target yang ditentukan, bahkan berdasarkan data dari KPU sejak pertama kali saja pada pemilu tahun 1955 jumlah persentase perolehan kursi keterwakilan perempuan di parlement hanya 5,88%.
Bahkan selama 12 kali indonesia melaksanakan pemilu persentase keterwakilan perempuan hasil masih perlu ditinjau kembali, ketika berkaca paada sejarah pemilu 1992 mengalami kenaikan persentase di angka 12,4%, namun persentase mengalami penurunan pada pemilu 1999 diangka 8,8%.
Pasca reformasi setelah mengalami proses empat kali amandemen Undang -Undang dasar 1945, yang berdampak pada perubahan pada mekanisme sistem kepemiluan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang ditermuat di pasal 65 ayat (1) untuk pertama kalinya penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif, dan Undang – undang no 31 tentang Parpol pasal 13 ayat (3) mengintroduksi perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai tentunya hal tersebut membuka ruang untuk target tercapainya keterwakilan perempuan diparlement
dalam penerapan aturan tersebut berdampak pada pemilu 2004 terkait hasil keterwakilan perempuan di parlement mengalami kenaikan persentase menjadi 11,82%, menjelang pemilu 2009 makin mempertegas adanya keterlibatan 30% perwakilan perempuan terbitnya perubahan undang -undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik dengan eksplisit partai politik harus menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai serta Undang -undang No 10 tahun 2008 di pasal 55 ayat (2) di proses daftar pencalonan anggota legislatif bahkan dalam 3 calon yang didaftarkan 1 calon wajib perempuan, dampak dari penerapan kebijakan tersebut membuat hasil melonjak naik ke angka 17,86% pada pemilu 2009
bahkan setelah mengalami perubahan undang -undang pemilu Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu menjadi undang -udang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilu untuk menghadapi pemilu tahun 2014, Namun dala perubahan undang -undang tersebut sedikit mengalami penurunan di angka 17,32% pada pemilu 2014.
namun dalam persiapan mengahadapi pemilu 2019 undang tentang pemilu mengalami perubahan dari undang -udang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilu menjadi Undang -undang No 7 tahun 2017, bahkan uniknya dalam perubahan instrumen tersebut jumlah keterwakilan perempuan di parlement mengalami kenaikan signifikan pada pemilu 2019 menjadi 20,87%. meskipun mengalami kenikan namun belum sampai pada patok minimal persentase yang diharapkan.
Bahkan kurva selama 12 kali pemilu menunjukan adanya angka kenaikan namun masih fluktuatif, hal itu tentunnya membutuhkan starategi proses elektoral khusus dalam menjawab target minimal persentase yang telah dipatok. Melihat potret pada pemilu 2014 yang dan pemilu 2019 ini, partai politik diwajibkan untuk memenuhi angka minimal pencalonan perempuan 30%, karena jika tidak memenuhi kuota tersebut maka usulan parpol untuk daftar calon legislatif tidak diterima oleh KPU. Hal tersebut tentunya membuat semua peserta pemilu yaitu partai politik harus menata ulang strategi proses pencalonan sehingga lebih pada ketegasan peran gender di politik , selain dari pada itu menjadikan perempuan untuk memiliki peran kunci yang artinya upaya politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik, tapi juga bagaimana representasi politik perempuan mampu memperluas basis konstituen di wilayah dapilnya.
instrumen tersebut hanya berdampak pada meningkatnya partisipasi perempuan dalam pencalonan di pemilu, sebagaimana diketahui pada proses pemilu 2019 angka daftar calon tetap (DCT) dari data KPU RI menunjukan mengalami peningkatan yang signifikan mencapai 40,08% melibihi batas minimal persentase keterwakilan perempuan.
Namun prolehan kursi di parlement untuk keterwakilan perempuan tidak mencapai terget yang diinginkan meskipun tingkat partisipasi pencalonan melibihi batas minimal yang ditentukan, untuk mendapatkan kouta 30% tesebut, haruskan pendidikan politik yang intens terhadap gender hinga mampu mencapai angka tersebut, namun indikator ukuran belum bisa dipastikan untk capaianya, pertanyaanya harus berapa kali pemilu lagi agar mencapai refresentase gender untuk target batas minimal di kursi parlement
Perlukah Kouta Khusus Perempuan di parlemen?
Mengutip model partisipasi Cornwall (2004) partisipasi perempuan tidak cukup bersifat consultative, dimana perempuan hanya menjadi pihak yang dimintai keterangan dan informasi mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan kebijakan tertentu, tidak cukup pula dengan model partisipasi presence, dimana perempuan hanya hadir dalam diskusi-diskusi dan rapat-rapat yang membicarakan kebijakan-kebijakan publik tanpa dapat mempengaruhi kebijakan. Dalam konteks keberadaan perempuan di kursi parlement, perempuan perlu memiliki keterwakilan yang permanen dalam perumusan dan penentuan kebijakan publik, model ini disebut sebagai representative kuota khusus, juga mampu memengaruhi proses dan substansi pada pengambilan kebijakan.
Jika berkaca dari sistem demokrasi ditingkat lokal dipemeritahan Desa , pemerintah telah menerapkan instrumen hukum khusus untuk kuota keterwakilan perempuan didalam pemilihan Anggota Badan Permusyawaratan Desa BPD dengan skema konsep partisipasi keistimewaan bagi perempuan didalam pemilihan anggota BPD
Berdasarkan hal tersebut jika dalam sistem pemilu untuk tahapan penyelengaraan pada penetapan dapil dan penetapan jumlah alokasi kursi diparlement, jika ada kouta istimewa khusus penambahan jumlah alokasi kursi disetiap dapil untuk keterwakilan perempuan dengan partispiasi pemilih juga khusus perempuan maka target 30% diparlement pasti terpenuhi bahkan bisa melibihi target.
Penulis : Welli Arma, Pegiat Gemawan