Jurnalis versus Wartawan

Sugeng Klinsman (Penulis lepas)
Sugeng Klinsman (Penulis lepas)

Opini-Today. Beberapa pekan ini, Jagat maya dihebohkan penangkapan dua oknum yang menyaru sebagai wartawan dan melakukan pemerasan di kabupaten Sintang, Kalimantan barat. Membaca berita tersebut, saya hanya bisa menghela napas, kenapa? Ya… karena Oknum-oknum ini lah yang sering tampil dipermukaan, akibatnya citra-citra wartawan yang sebenarnya melakukan Pratik Jurnalisme menjadi rusak dimata orang awam, yang tidak mengetahui secara pasti bagaimana Jurnalis itu bekerja. Bahkan sampai memandang rendah Wartawan akibat pola pikir warga terkontaminasi dengan ulah sekelompok orang yang menyaru sebagai wartawan dan terkadang juga menyaru sebagai Lembaga Swadaya masyarakat, dan sebaliknya.

Nilai-nilai profesional bagi wartawan sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan. Media cetak memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik. Karenanya, media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat.

Jauh sebelum kejadian Di Sintang, saya sempat dibuat meradang oleh seorang kawan lama, dia sekarang sukses dengan karirnya. Ketika kami duduk seperngopian, dia menyampaikan wartawan itu jauh rendah posisinya dengan profesinya.

Sesampainya di rumah, aku berpikir lagi, bahwa apa yang dikemukakan kawanku itu, lebih karena ketidak tahuan dirinya, bahwa yang sebenar-benarnya wartawan itu yang bagaimana, dia hanya melihat secara permukaan karena banyak berseliweran oknum yang mengaku wartawan dan ujung-ujungnya duit. Beralas kejadian ini, aku pun mencoba menulis sedikit, agar mereka tidak gagal paham Siapa Jurnalis itu? Bagaimana Kerja-kerja jurnalis? Dan Lembaga apa yang melindungi kerja-kerja Jurnalisme.

OK….! Kita bahas pertama adalah “SIAPA JURNALIS ITU” ?

Menurut KBBI, pengertian jurnalis sama dengan wartawan. Istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Jurnalis merupakan serapan bahasa asing, yakni “journalist” yang berakar dari kata “journal” berarti catatan harian mengenai kejadian.

Pada saat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berdiri, terjadi kesadaran tentang istilah jurnalis ini. AJI menjelaskan, jurnalis adalah profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan. Namun, jurnalis lebih luas cakupannya dibanding wartawan.

Selain daripada itu, jurnalis memiliki idealisme yang dijunjung penuh. Apa yang dilakukannya tidak hanya menyampaikan berita, ia juga dengan sadar berdasarkan ilmunya memberikan persfektif baru kepada masyarakat ketika menyampaikan berita. Berita yang dipublikasikan pun berpihak kepada kepentingan umum. Berani berkata benar walaupun harus menerima pahit atau bahkan membahayakan keselamatan nyawa, bukan hanya dirinya tapi bisa juga keluarga dan orang-orang terdekatnya. Halang rintang selalu mengiringi langkah jurnalis dalam menguak suatu misteri.

Pada dasarnya, wartawan dan jurnalis sama-sama berada di lingkungan media pemberitaan, tugasnya pun sama yaitu mencari berita dan melaporkannya kepada khalayak.

Poin pembedanya adalah mengenai idealism yang dipegang. Wartawan cenderung mematuhi kode etik wartawan dan kebijakan yang telah ditetapkan perusahaan, ia tidak mengindahkan apakah berita yang dipublikasikannya adalah berpihak kepada masyarakat umum atau justru menguntungkan sebagian pihak.

Sementara jurnalis, ia selalu resah terhadap fenomena yang kebanyakan tidak mendukung bangsa dan lingkungan sekitarnya, sehingga pemberitaan yang ditelusuri dan dilaporkan adalah menitikberatkan untuk kesejahteraan dan kebermanfaatan bagi rakyat.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ada Lembaga yang mengatur kerja-kerja Jurnalis itu, jawabannya adalah ada. Sejak era Orde Lama, Sudah Ada yang namanaya DEWAN PERS pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966.

Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966, berfungsi mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Sedangkan Ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri Penerangan (Pasal 7 ayat (1)).

Saat Era Presiden Soeharto melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, yang ditandatangani Presiden Soeharto 20 September 1982, tidak banyak mengubah keberadaan Dewan Pers.

Kedudukan dan fungsinya sama: lebih menjadi penasehat pemerintah, khususnya kantor Departemen Penerangan. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua Dewan Pers.

Perubahan fundamental terjadi pada tahun 1999, seiring dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang diundangkan 23 September 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) Independen. Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.

Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Tidak lagi ada wakil pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa Orde Baru. Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan Presiden, namun tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden namun diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno.

Sugeng Klinsman (Penulis lepas)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.